Sabtu, 16 April 2016

kemajuan sains dan teknologi dalam islam

Kebutuhan akan agama sebenarnya berada jauh lebih dalam di jiwa manusia. Tak peduli secanggih apapun teknologi. Sudah menjadi fitrah manusia yang dicondongkan jiwanya ke agama (Q:30:30). Dimana ketinggian tingkat dalam pengetahuan , ekonomi dsb tidaklah menjadikan manusia mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Toh telah terbukti tingkat bunuh diri lebih tinggi terjadi di masyarakat yang secara ekonomi maupun teknologi lebih maju. 

Masalahnya adalah, kemajuan bisa mengaburkan atau membelokkan kesadaran manusia dari pemenuhan kebutuhan spiritual tersebut. Terlebih lagi disebabkan agama terbesar di negara maju telah kehilangan taringnya sebagai penunjuk jalan, sekarang tak lebih sebagai dongeng atau mitos belaka yang hanya cocok jadi bahan gurauan di pub (warung kopi) atau sebagai identitas pemersatu dalam konflik Internasional. 

Disinilah mulai bangkitnya paham2 baru yang tidak menihilkan Tuhan melainkan melepaskannya dari sekat agama. Tetapi kemudian dalam perspektif baru ini (yang sedang berlangsung sekarang) segala batasan moral menjadi elastis bisa diulur kesana kemari, yang pada akhirnya kembali menghasilkan kekosongan baru di jiwa manusia. Sebuah lingkaran setan. 

Pada titik inilah sebenarnya Islam bisa menjadi kandidat baru karena simplisitas dan logis ajarannya. Hanya baju luarnya sekarang yang masih compang-camping menutupi keindahan didalamnya.

dalam hadist itu dikatakan "janganlah makan dan minum dengan berdiri/berjalan" 
saya mengkaitkan ini dengan ilmu kesehatan, karna apabila berjalan atmosfer itu penuh debu, apakah kita mau makanan kita terkontaminasi dengan kuman? 

satu lagi islam menganjurkan agar segala sesuatunya didahului dgn membaca bismillah. 
nah, akhir ini ilmuwan di jepang melakukan riset dengan cara mengumpukan orang2 dari beberapa suku dan agama
dan memintanya untuk meminum air di dlm gelas. 
ternyata, bekas air di gelas orang yang bergama islam itu susunan molekulnya tersusun rapi (HANYA ORG ISLAM), sdgkn lainnya molekulnya berantakan. 

tergantung bagaimana mendefinisikan keber-agama-an (agama itu apa?). kalo agama didefinisikan sebagai perangkat aturan yang rigid, kaku, tidak fleksibel, jelas agama akan kehilangan momentumnya. buat sebagian orang (penganut agama), ajaran (syariat) agama bersifat mutlak, tidak dapat dinegosiasi (fanatik, konserfatif), sedang sebagian lagi cenderung menganut paham kompromistis (liberal?). 

1. Sains mengajarkan seseorang mengandalkan "brain atau logos" dalam menata kehidupannya. 
2. Agama membimbing manusia menghadapi kehidupan ini dengan "kepercayaan dan atau keyakinan" agama yang dianutnya. 
3. Jika kedua "mind set" itu dipertemukan / dipersatukan / digabung maka akan menjadi sebuah kelengkapan yang luar biasa bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan. 
4. Anehnya, semakin tinggi seseorang menguasai "science and technology" lebih mengandalkan "rasio"; sedang tingkat "kepercayaan" akan sesuatu di luar kendalinya dianggap "nisbi" dan tak perlu diikuti. 
5. Sebaliknya semakin tinggi tingkat "relegiusitas" seseorang makin tidak rasional, artinya "lebih mengandalkan keyakinannya daripada rasionya", dan akan berbahaya jika sampai "radikal" 
6. Akan tetapi tidak semua "scientist, technolog" berperilaku seperti itu, demikian juga tidak semua "theolog/penganut agama yang khusuk" berperangai seperti itu. 
7. Yang paling safe tentu mengimbangi peran agama dalam kemajuan "sains dan teknologi" dari seseorang maupun sekelompok orang. 
8. Jika manusia mengandalkan seratus prosen "sains dan teknologi" dalam menyikapi hidup maka hasil yang didapat adalah "merasionalkan semua masalah berdasarkan tata pikir / mind set -nya", padahal tidak selalu demikian. 
Contoh sederhana : "Bencana dapat dihadapi dengan mempersiapkan diri terhadap gejala alam, berdasarkan analisis ilmiah terhadap penyebab bencana itu" 
9. Untuk kaum relegius : "Bencana itu terjadi karena "dosa" manusia, baik pemimpin/birokrat/ pemerintah atau manusia dalam pengertian umum". Memang ada benarnya, tetapi jika kita telusur lebih jauh maka segala sesuatu dapat diantisipasi berdasarkan kebenaran ilmiah sembari meyakini bahwa TUHAN menggunakan akal kita untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. 

berhubung saya beragama islam, saya tinjau dari pendekatan islam itu sendiri. sebagaimana kita tahu ayat pamungkas tentang dien (agama) adalah qs. al maidah:3, penggalannya, 
"...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..." 
dari sini bisa diambil beberapa kesimpulan: 
1. ada agama yang dinamakan islam 
2. ada agama lain sebelum agama islam yang sekarang 
3. agama islam (sekarang) merupakan versi pamungkas (penyempurna) yang sifatnya paripurna 
4. karena sifat paripurnanya, tidak ada lagi perubahan (penyempurnaan) ajarannya 
5. islam "dianggap" (adalah) merupakan agama yang paling cocok untuk manusia sekarang (sampai akhir zaman) (apakah satu2xnya?) 
dari kesimpulan diatas, muncul beberapa pertanyaan baru, sesungguhnya apakah agama sebelum islam yang sekarang itu, dimana letak ketidaksempurnaannya, bagian mana yang disempurnakan, seberapa lentur islam itu dapat mengakomodir kemungkinan perubahan zaman dan peradaban? (misalkan, kita sudah mencapai kemajuan seperti yang digambarkan dalam startrek atau time cop) 
[cukup sebegini dulu ya, panjang sekali kalo mau didiskusikan] 
tentang spiritual, justru tidak ada masalah, semakin tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban, semakin tinggi pula kesadaran spiritual manusia. lihat saja sekarang, begitu banyak orang mengajarkan kebijaksanaan dengan basis spiritualisme. bahkan ilmuwan/wati alam, jika sudah mencapai puncaknya, pasti akan menjadi spiritualis, perhatikan einstein, hawkings, chandrasekar, minkowski dll. 

0 komentar:

Posting Komentar