Sabtu, 16 April 2016

Takdir dan Ikhtiar

                                                        Konsep Takdir dan Ikhtiar


 Pengertian Takdir
TakdirKata takdir (taqdir) berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika kita berkata, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.”  Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
 Takdir Dalam Agama Islam
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan, umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
 Jenis-Jenis Takdir
Pada dasarnya, takdir dapat dibagi menjadi tiga: takdir ghaibi, takdir syar’i, dan takdir kauni. Ketiga takdir ini menjelaskan kehendak Allah atas segala sesuatu. Konsep takdir ini berisi tentang kehendak-kehendak Allah yang ghaib, masalah kewajiban-kewajiban manusia, dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta ini.
a.       Takdir ghaibi
Adalah apa-apa yang Allah kehendaki terhadap kita (manusia). Takdir ini bersifat ghaib, rahasia, dan baru diketahui setelah terjadinya takdir tersebut. Dasarnya adalah kehendak Allah yang ghaib. Contohnya,kehendak Allah terkait gender, tempat dan tanggal lahir, orang tua yang melahirkan, dan waktu dan tempat kematian.
b.      Takdir syar’i
Yaitu apa-apa yang Allah kehendaki dari diri kita. Sifatnya nyata, yaitu dapat diprediksi berdasarkan hukum sebab akibat. Dasarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya adalah konsep surga dan neraka.
c.       Takdir kauni
Yaitu apa-apa yang Allah kehendaki terhadap alam ini. Sifatnya nyata. Dasarnya adalah sunnatullah (hukum-hukum Allah atas alam ) , memenuhi hukum sebab-akibat, tetap, dan universal. Contohnya adalah hukum-hukum sains seperti fisika: hukum Newton, gravitasi, siklus air, dan termodinamika. Takdir ini berjalan menjaga keteraturan alam semesta. Ia seperti kitab undang-undang sebab akibat yang tertulis di alam, tetapi hanya orang yang berilmu yang dapat membacanya.

 Konsep Takdir 
Takdir adalah suatu yang sangat ghoib, sehingga kita tak mampu mengetahui takdir kita sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan berusahapun telah Allah jadikan sebagai kewajiban. “Tugas kita hanyalah senantiasa berusaha, biar hasil Allah yang menentukan”, itulah kalimat yang sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita, yang menegaskan pentingnya mengusahakan qadha untuk selanjutnya menemui qadarnya.
Takdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani, yaitu :
a. Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya. Sebagaimana firman Allah :
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-an`am:59)

b. Al-Kitabah, Bahwa Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj:70)

c. Al-Masyiah (kehendak), Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah (kehendak /keinginan) Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaan-Nya yang tidak diinginkan-Nya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya :

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin:82)

d. Al-Khalqu, Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya, dalam firman-Nya dijelaskan :
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2).
Impliksi Iman Kepada Takdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untukmerubahnya.Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (QS. Al Hadiid:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.

Pengertian Ikhtiar
ikhtiar-dan-doaIkhtiar berasal dari bahasa Arab (إخْتِيَارٌ) yang berarti mencari hasil yang lebih baik. Adapun secara istilah, pengertian ikhtiar yaitu  usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Maka, segala sesuatu baru bisa dipandang sebagai ikhtiar yang benar jika di dalamnya mengandung unsur kebaikan. Tentu saja, yang dimaksud kebaikan adalah menurut syari’at Islam, bukan semata akal, adat, atau pendapat umum. Dengan sendirinya, ikhtiar lebih tepat diartikan sebagai “memilih yang baik-baik”, yakni segala sesuatu yang selaras tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, jika usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang akan dilakukan harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu berhati-hati mencari teman (mitra) yang mendukung usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.
 Dalil-Dalil Tentang Ikhtiar
Berikut ini adalah dalil tentang ikhtiar dalam alquran
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ * سورة الرعد 11
Artinya : … Sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri … ( QS. Ar-Ra’du 11 )
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * سورة الجمعة 10
Artinya : Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia allah dan ingatlah allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ( QS. Al-Jumu’ah 10 )


Manfaat Ikhtiar
Seorang muslim yang senantiasa berikhtiar akan memiliki dampak positif, di antaranya sebagai berikut :
  1. Merasakan kepuasan bathin, karena telah berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuanya yang di miliki.
  2. Terhormat di hadapan allah dan sesama manusia.
  3. Dapat berhemat karena merasakan susahnya bekerja.
  4. Tidak mudah berputus asa.
  5. Menghargai jerih payahnya dan jerih payah orang lain.
  6. Tidak menggantungkan orang lain dalam hidupnya.
  7. Menyelamatkan akidahnya, karena tidak ( bebas ) bertawakal kepada makhluk.
 Larangan Berputus Asa
Allah telah mencontohkan kisah Nabi  Ya’qub dalam Al-Qur’an sebagai contoh nyata pelajaran orang-orang yang ditimpa kesusahan dan larangan berputus asa. Nabi Ya’qub yang terus berdo’a dan berharap pada Tuhannya setiap saat agar tidak termasuk orang-orang yang berputus asa, karena berputus asa pada kebaikan Tuhan adalah sifat-sifat orang yang kafir.

Kisah itu digambarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 87 يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
”Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir”. (QS: Yusuf: 87)

 Tauhid dan Peningkatan Mutu Sumberdaya Manusia
    Pengertian Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluksosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk.
 Peranan Tauhid dalam peningkatan SDM
Sebagai umat islam maka dituntut untuk mengimani adanya Qadla dan Qadar Alloh. yang mana telah  sedikit dijelaskan tentang hubungan takdir dan ikhtiar, umat islam harus berusaha dalam menumbuhkan sikap tidak pantang menyerah untuk menggali potensi yang di miliki dengan bekal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT sebagai pemberi potensi dan yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Nya yang telah berusaha.
Untuk meningkatkan mutu SDM diperlukan berbagai macam pendidikan dan pengajaran, salah satunya adalah tauhid. Dalam hal ini pendidikan tauhid adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia memiliki jiwa tauhid yang kuat dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Sedangkan pengajaran tauhid yang baik adalah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai aqidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa kepada kebahagian hidup duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan dan pengajaran tauhid, baik yang berhubungan dengan aqidah maupun dalam kaitan dengan ibadah, akan menanamkan keikhlasan pada diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya. Keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah inilah yang membuat tauhid bagaikan pisau bermata dua, satu segi untuk kehidupan di akhirat sisi lainnya untuk kehidupan di dunia. Dalam hal keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah ini, menjadikan manusia berfikir kepada kehidupan di Dunia dan di Akhirat. Dari situlah manusia berusaha meningkatkan kualitas baik ibadahnya maupun dalam sumberdaya yang ia miliki sebagai peningkatan kehidupan Dunia. Sehingga dalam hal tersebut manusia dapat mencapai tujuan dunia dan di Akhirat secara seimbang dan sempurna. Jadi dengan tauhid manusia dapat meningkatkan sumberdaya yang ia miliki, karena di dalam tauhid terdapat tujuan hidup yang bukan untuk akhirat saja, melainkan untuk dunia juga dengan melalui peningkatan kinerja, kejujuran, mutu pemikirannya dan kuwalitas hidup yang lain.
Pendidikan dan pengajaran tauhid kepada anak harus dimulai sejak anak itu kecil. Pada waktu itu, orang tua lah yang bertanggung jawab dalam pendidikan tersebut, sebab anak adalah amanah dari Allah yang harus di jaga, dirawat, dibimbing dan yang terpenting adalah diberikan pendidikan khususnya masalah ketauhidan. Fitrah anak yang mempunyai keimanan kepada Tuhan sejak sebelum  ia lahir ke Dunia, harus disalurkan secara wajar dan dibina terus menerus sehingga perkembangan aqidahnya semakin lama semakin sempurna. Sehingga, ia menjadi manusia bertauhid yang betul-betul mencintai Allah diatas segala-galanya.
Usaha-usaha pemupukan rasa keimanan sebagai fitrah manusia harus sungguh-sungguh mendapat perhatian setiap orangtua atau pengasuh anak. Usaha tersebut dilakukan melalui tiga proses yaitu pembiasaan, pembentukan pengertian dan pembentukan budi luhur.
  1. 1.  Tahap pembiasaan, pemupukan rasa keimanan dilakukan anak dimasa kanak-kanak. Dalam tahap ini, aktifitas yang di lakukan hanya memberikan pengenalan secara umum dan membiasakan anak untuk ingat bahwa tuhan itu ada.
  2. 2.  Tahap pembentukan pengertian meliputi masa sekolah sampai menjelang remaja. Pada usia ini anak cenderung suka berhayal. Oleh karena itu, kesukaan seperti ini bisa dimanfaatkan oleh orang tua untuk menanamkan tauhid melalui cerita-cerita tentang keagungan Allah.
  3. Tahap pembentukan budi luhur. Tahap ini berlangsung pada masa peralihan dari remaja menuju dewasa.pada masa ini seorang anak sering mengalami kebimbangan dan mudah terombang ambing oleh problema yang dihadapi. Bimbingan dilakukan dengan cara memberikan keinsyafan dan kesdaran bahwa segala apa yang ada adalah ciptaan tuhan dan semuanya milik Tuhan.Apabila pertumbuhan dan perkembangan pengenalan kepada Allah berjalan dengan baik dan lancar dan kebiasaan baik yang berhubungan dengan tauhid sudah menjadi aktifitas keseharian maka terbentukalah rasa iman kepada Allah yang cukup mendalam bagi dirinya.

0 komentar:

Posting Komentar